Selasa, 10 September 2019

Belajar Tasawuf Dari Sunan Kalijaga


Bertandang ke Demak, tidak afdol jika melupakan pesarean Sunan Kalijaga. Wali yang satu ini memiliki banyak pengikut hingga sekarang. Ajaran-ajarannya tentang kehidupan sangat mendalam dan menjadi acuan, khususnya masyarakat Jawa.

Setelah ziarah ke makam Raden Patah dan keluarganya di belakang masjid agung Demak, saya dan Wardah Fajri keluar melalui lorong yang penuh dengan penjual souvernir. Kami menggunakan becak menuju makam Sunan Kalijaga yang lokasinya sekitar 5km dari masjid agung Demak.

Becak melaju dengan kencang, nyaris tanpa hambatan. Dalam waktu singkat kami sudah berada di depan gerbang makam Sunan Kalijaga. Kami kembali menyusuri gang yang dipadati pedagang UMKM. Inilah salah satu kelebihan para wali, masih bisa memberi mata pencaharian bagi masyarakat walaupun sudah lama meninggal dunia.

Sebelum memasuki area makam, kita harus melepas alas kaki di tempat yang telah disediakan. Tentu tidak boleh lupa membayar jasa penitipan. Setelah itu mengisi buku tamu dan memasukkan infaq seikhlasnya.

Area makam ini lebih luas dan banyak diisi oleh makam orang lain. Sebagian masih termasuk anggota keluarga kerajaan atau keluarga wali, sedangkan lainnya mungkin masyarakat setempat.

Kami terus menuju makam Sunan Kalijaga yang letaknya paling belakang. Makam ini tertutup, berada dalam sebuah ruangan yang dindingnya terbuat dari kayu jati. Ruangan ini hanya dibuka pada hari tertentu.

Karena kami datang pada hari biasa, pintu makam tertutup rapat, tidak bisa masuk ke dalam. Jadi kami hanya bisa melihat sekeliling makam sebagaimana peziarah yang lain. Sebenarnya, bagi yang memiliki indra keenam atau mata batin, bisa melihat penunggu makam ini adalah makhluk halus berbentuk buaya raksasa.

Ada sekelompok peziarah dari kota lain sehingga kami mengambil tempat dan duduk di belakang. Kami pun ikut mengirimkan doa kepada sang wali. Saya mengingat berbagai ajaran Sunan Kalijaga yang berusaha saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sunan Kalijaga adalah seorang sufi. Ia tidak tega membunuh makhluk Allah apapun jenisnya. Ketika dia pernah terjatuh dan menyebabkan rerumputan tercerabut, ia menangis. Sunan Kalijaga sedih karena rumput itu menjadi mati.

Pernah pula dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga mengubah diri menjadi cacing. Hal ini membuat dia mengerti bagaimana rasanya menjadi makhluk kecil tak berdaya. Dan ini membuat ia semakin tawadhu.

Sunan Kalijaga berdakwah dengan mengenakan pakaian tradisional masyarakat Jawa, lengkap dengan blangkon. Ajaran Islam diselipkan dalam kisah wayang yang menjadi tontonan utama masyarakat Jawa di masa lalu. Dengan demikian, dakwah bisa tersampaikan secara halus dan diterima masyarakat secara baik.

Beberapa lagu berbahasa Jawa yang dibuat oleh Sunan Kalijaga mengandung filosofi yang mendalam, yaitu berupa tuntunan kehidupan. Jika kita mengikutinya, maka hidup kita akan tenteram. Salah satu lagu yang saya hafal adalah Ilir-ilir.

Sebagai kenang-kenangan, kami juga selfie di depan pintu makam yang tertutup rapat. Sebetulnya ingin berlama-lama di sana, tapi kami harus menyesuaikan dengan jadwal bis yang akan membawa kami kembali ke Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar