Jumat, 30 Agustus 2019

Masjid Sunan Bonang, Megah Dalam Kesendirian



Masjid Sunan Bonang, letaknya tidak jauh dari area makam wali tersebut. Kita hanya berjalan menyusuri gang belakang makam sekitar 50 meter. Tak berapa lama masjid itu tampak menjulang di hadapan.

Memang Masjid Sunan Bonang berada di ketinggian. Entah itu bukit kecil atau gundukan tanah, yang jelas membuat masjid itu semakin megah. Kita harus mendaki sejumlah anak tangga yang tepat berada di tengah gapura.

Kami (saya dan rekan Wardah Fajri) memasuki masjid lewat pintu sebelah kanan dekat tempat wudhu. Setelah melepas sepatu, kami memasuki masjid yang sepi. Tak ada seorangpun di sana. Mungkin karena kami datang sekitar pukul 10.30, belum waktunya shalat atau penduduk masih bekerja.



Bangunan masjid 90 persen terbuat dari kayu jati dengan arsitektur klasik. Bangunan ini tampak indah, baik dilihat dari dalam maupun dari luar. Langit-langit masjid cukup tinggi, memungkinkan udara masuk dan membuat sejuk dalam cuaca yang sangat panas.

Sebuah bedug besar, dengan sisi dari kulit kambing, diletakkan di atas penopang rendah, ada di pojok belakang. Jika ditambur, suaranya pasti bergema sampai kejauhan Sekeliling masjid adalah rumah penduduk yang saling berdekatan, tampak rendah dari dalam masjid.



Sebetulnya kami ingin melaksanakan shalat Sunnah di sana, sayangnya tidak tersedia mukena atau rukuh. Saya sudah mencari di sudut ruangan, tetapi tidak menemukannya. Padahal kami tidak membawa perlengkapan shalat tersebut.

Akhirnya saya mengelilingi masjid dan memperhatikan detail dari bangunan ini. Beberapa ornamen kayu penuh dengan ukiran yang saya duga berasal dari Jepara. Menurut papan penjelasan di depan, masjid ini baru selesai direnovasi pada tahun 2016.

Langit-langit di tengah masjid, yang ada kubahnya, tergantung lampu hias yang cantik meski tidak begitu besar. Di sekelilingnya ada kaligrafi dari ayat suci Al-Quran, di antaranya adalah ayat kursi.



Masjid ini sengaja didesain separuh terbuka. Maksudnya, kayu-kayu tidak rapat dan memungkinkan angin masuk. Maklum Lasem adalah jalur Pantura yang sangat panas. Dengan desain seperti ini, membuat masjid selalu sejuk dengan aliran angin, apalagi lokasinya yang lebih tinggi dari perumahan penduduk.

Kami menikmati ketenangan masjid dengan duduk di ambang pintu. Semilir angin memang membuai, membuat enggan untuk beranjak. Saya hanya membayangkan bahwa masjid yang megah ini seperti berdiri sendirian.

Sampai kami turun meninggalkan masjid, tak seorangpun muncul atau terlihat. Ada kekuatiran menyelip di dada, jangan-jangan masjid ini sepi oleh jamaah. Alangkah ironinya jika hal itu terjadi. Kemegahan masjid harus ditelan kesunyian. Lalu bagaimana dengan ajaran peninggalan sang wali, Sunan Bonang?  Beribu tanda tanya menyerbu di kepala.

Kamis, 29 Agustus 2019

Hanyut Dalam Kesunyian yang Melangut di Makam Sunan Bonang




Senin, tanggal 19 Agustus saya dan Wardah Fajri masih berada di penginapan Kurnia Lasem. Setelah malam sebelumnya gagal melanjutkan perjalanan ke pesantren Al Anwar, tempat Mbah Moen, kami memutuskan istirahat saja sambil menyusun rencana untuk esok harinya.

Sejujurnya saya merasa bersalah jika melewati Lasem tanpa singgah di pesarean Sunan Bonang. Dan ini membuat saya merasa tidak tenang. Karena itu saya menekankan bahwa esok pagi harus mengunjungi makam salah satu dari Walisongo tersebut.

Setelah sarapan dengan menu terbatas (maklum penginapan backpacker), kami keluar sekitar pukul sembilan lebih. Sebuah bus tanggung yang sudah tampak tua menjadi tumpangan ke makam Sunan Bonang, yang kebetulan tidak jauh dari jalan raya. Kami diturunkan persis di depan gang yang menuju area makam.

Dengan langkah yakin saya berjalan menuju makam Sunan Bonang, mengandalkan ingatan yang samar 14 tahun lalu ketika terakhir kemari. Entah, ada semacam rindu yang menguatkan untuk 'bertemu' dengan sang wali.

Di balik tembok area makam suasana sepi menyambut. Kami melihat hanya ada seorang nenek yang duduk di pelataran luar. Saya melewati nenek tersebut, bergegas ke area dalam dan ternyata tak ada seorangpun di sana. Saya mengintip ke dalam ruangan makam yang terkunci, tidak ada tanda-tanda adanya manusia.

Setelah memeriksa dengan segenap pandangan mata, area makam ini benar-benar sunyi senyap, hanya angin yang berbisik malas. Otak saya berpikir cepat, lalu kembali berbalik menemui nenek yang tadi duduk sendirian.

Nenek itu sudah buta dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Saya perkirakan usianya di atas 90 tahun. Saya pun menggunakan bahasa Jawa untuk menanyakan keberadaan kuncen makam Sunan Bonang.

Berdasarkan petunjuk si nenek, saya keluar lewat pintu belakang untuk mencari rumah kuncen. Tetapi untuk memastikan rumah tersebut, saya sempat bertanya lagi pada penduduk setempat.

Tibalah kami di rumah sederhana yang terbuat dari dinding bambu atau disebut Gedeg. Saya mengucap salam beberapa kali hingga akhirnya ada seorang perempuan muncul. Saya perkirakan dia adalah putri sang kuncen. Kami dipersilahkan menunggu kembali di pendopo makam Sunan Bonang, sementara Pak Kuncen dipanggil.

Sebelum memasuki pendopo, saya dan Wardah Fajri bersuci terlebih dahulu, mengambil air wudhu dari keran yang ada di depan dinding kawasan makam. Setelah itu kami duduk menunggu kedatangan kuncen di pendopo yang konon dahulu merupakan rumah Sunan Bonang itu sendiri.

10 menit kemudian, seorang lelaki tua yang kurus tinggi datang memperkenalkan diri. Dialah kuncen makam Sunan Bonang. Pintu ruangan makam dibuka, kami berdua masuk ke dalam. Tampak sebuah makam sederhana, hanya berupa gundukan tanah dengan sebatang perdu sebagai penanda.



Itulah makam Sunan Bonang yang juga adalah putra dari Sunan Ampel. Jantung berdesir ketika memandang makam tersebut. Rasa haru menyelinap, membuat saya ingin menangis. Dalam waktu yang sekejap itu saya melampiaskan rasa rindu tanpa kata.

Pak Kuncen saya minta memberikan keterangan dengan bahasa Indonesia supaya sohib saya Wardah Fajri mudah memahaminya. Sementara ia menceritakan kisah Sunan Bonang, saya berdialog sendiri dengan sang wali melalui hati yang penuh cinta.

Selain suara jernih kuncen yang bercerita dengan khidmat, saya meresapi kesunyian yang melangut di sekitar kami. Kesunyian yang membuat saya ingin berada di tempat itu selama mungkin. Hanya saja saya tidak mungkin melakukan hal itu.

Sebagian besar kisah itu sudah saya ketahui, karena sejarah Walisongo selalu lekat dalam ingatan. Pak Kuncen menjelaskan bagaimana Sunan Ampel memerintahkan Sunan Bonang untuk menetap di wilayah itu dan berdakwah, menyebarkan agama Islam.

Setelah selesai dengan penjelasan yang runtut, Pak Kuncen mempersilahkan kami untuk berdoa. Dia sendiri keluar dan menunggu di pendopo. Ia memberi kesempatan pada kami supaya lebih khusyuk berdoa di makam tersebut.



Kalau saya, hanya membaca doa singkat dan inti dari 'pertemuan' ini. Saya cukup senang melihat rekan Wardah Fajri mengirim doa untuk beliau dan menghayati keberadaannya di pesarean Waliyullah yang satu ini. Saya bahagia dengan cara saya sendiri.

Usai dengan kunjungan ini, kami keluar menemui Pak Kuncen yang bernama Abdul Wahid. Kami pamit sebelum menuju masjid Sunan Bonang yang hanya berjarak lima puluh meter dari area makam. Pak Kuncen yang halus dan sopan itu mengantarkan kami hingga ke pintu.




Minggu, 25 Agustus 2019

Jelajah Rembang Dalam Sebuah Misi



Pada hari kemerdekaan 17 Agustus 2019, tidak seperti kebanyakan orang yang terpaku pada upacara seremonial, saya dan sohib Wardah Fajri justru melakukan perjalanan spiritual mengunjungi makam para wali. Kota pertama yang menjadi tujuan adalah Rembang, di mana ada salah seorang ulama dan juga sastrawan Mustofa Bisri atau dikenal dengan sebutan Gus Mus.

Diturunkan oleh bus malam pada pukul dua dini hari di depan taman RA Kartini, membuat kami sempat kebingungan. Sebab rumah penginapan yang kami pesan, lokasinya masih terlalu jauh dari sana.

Kami berpikir mencari hotel melati terdekat untuk singgah sementara. Tetapi ternyata hotel itu sudah penuh. Kami harus berpikir keras bagaimana menyelamatkan diri di malam itu. Kemudian kami menuju mini market yang buka 24 jam sambil mencari informasi.

Di depan mini market tersebut duduk seorang pemuda sendirian sedang merokok. Sementara sohib saya berada di dalam mini market, saya pedekate pada pemuda itu. Tak disangka pemuda yang bernama Anang tersebut adalah tetangga satu RT dengan Gus Mus.

Singkat cerita, Anang begitu berbaik hati mencarikan penginapan untuk kami. Bahkan ia juga menunjukkan tempat tinggal Gus Mus sebelum mencari hotel. Dia mengantar kami satu persatu karena tak mungkin memboncengkan dua orang dalam satu motor.


Beberapa hotel disambangi, semua penuh. Harapan terakhir adalah Fave hotel yang sudah penuh juga. Tetapi mendadak ada penghuni yang kemudian pergi sehingga ada satu kamar kosong yang kemudian dibersihkan.

Anang berlalu dengan motornya. Kami sangat berterimakasih dengan pertolongannya. Mungkin Allah SWT yang memang menggerakkan dia untuk menolong kami. Dia tak ubahnya malaikat yang dikirim kepada dua perempuan yang sedang terdampar di kota ini.

Istirahat di kamar melepas lelah, saya baru tidur setelah shalat Subuh. Kami terbangun pukul sembilan lebih dan dengan tubuh masih lemas, berusaha turun untuk sarapan. Masakan yang tersedia lumayan enak, cukup untuk energi keliling kota Rembang.

Kami mendapat kabar dari seorang teman kalau Gus Mus sedang berada di Tegal. Yah, belum ditakdirkan untuk bertemu beliau. Namun kami memanfaatkan waktu dengan mengunjungi museum RA Kartini, yang jaraknya hanya sekitar 200 meter dari hotel. Tentang museum ini, saya tulis di akun www.kompasiana.com/empuratu



Selesai mengunjungi museum, kami ke alun-alun yang ada di seberang hotel. Kebetulan sedang ada pawai atau karnaval 17-an. Sebuah hiburan rakyat yang menyenangkan, ada mobil hias dengan barisan yang berpakaian daerah atau karakter. Karnaval itu sangat meriah.

Namun kami tidak larut dengan tontonan itu. Untuk melipur hati karena gagal bertemu dengan Gus Mus, kami berziarah ke makam KH Cholil Bisri, yang juga adalah ayah dari Gus Mus. Dengan menggunakan becak, kami ke makam beliau.



Kompleks pemakaman ulama ini sangat sederhana, maklumlah di daerah perkampungan. Makam KH Cholil Bisri dan keluarga dipagari, tapi terbuka pintunya sehingga siapapun bisa masuk dan berdoa di sana. Mumpung sepi, kami bersimpuh mengirim doa untuk beliau

Usai berdoa, ada rombongan yang datang. Kami pun segera melipir dari sana kembali menumpang becak ke alun-alun. Tontonan pawai masih berlangsung, kami menyaksikan sambil minum di depan mini market.



Ketika matahari semakin condong ke Barat, kami beranjak melewati karnaval. Tidak lupa foto di gerbang alun-alun dan gerbang masjid agung Rembang. Setelah itu kembali ke hotel untuk menyejukkan tubuh. Kami harus segera melanjutkan perjalanan.



Cita Rasa Masakan Sunda Dan Spot Instagramable di 'Kluwih" Bogor



Bagi yang ingin menikmati masakan tradisional khas Jawa Barat atau Sunda memang tidak sulit. Meluncur saja ke kota hujan Bogor, maka keinginan itu akan segera terpenuhi.

Ada sebuah rumah makan yang mudah dijangkau karena terletak tak jauh dari pintu tol masuk kota Bogor. Resto Kluwih ada di sebelah kiri dari jalan raya. Bangunan resto ini mudah dikenali karena didominasi oleh ornamen kayu.

Sesuai dengan namanya, maka rumah makan ini menyajikan aneka hidangan, khususnya dengan cita rasa Sunda. Ada olahan ikan bakar dan ikan goreng serta lalapan.

Beberapa kali ke tempat ini, saya selalu mengambil menu yang berbeda-beda. Tujuannya adalah mencicipi setiap jenis makanan dan minuman. Ternyata semua sangat cocok di lidah, terasa nikmat.



Biasanya saya mencari menu yang tidak ada di resto lain. Misalnya menu nasi kuning Kluwih yang juga menjadi andalan. Rasanya memang enak, gurih dengan lauk. Teri dan telur. Sebagai minuman penyegar adalah es tape dengan sirup merah yang menggugah selera.


Kalau tidak mau makanan berat, pesan saja makanan kecil untuk teman minum kopi. Ada pisang goreng dan colenak juga lho. Enak banget, dengan bumbu kelapa yang menggunakan gula merah. Memang bagi yang tidak menyukai rasa manis berlebihan, kurang cocok dengan colenak di sini.



Berbagai minuman tradisional juga ada, seperti minuman jamu yang sehat untuk kita. Ada wedang jahe hingga kunyit asem. Biasanya ini menjadi pilihan kaum wanita.

Namun kelebihan "Kluwih"  tidak hanya pada masakan. Rumah makan ini juga sangat Instagramable, bagus untuk spot foto, baik di lantai dasar maupun lantai dua. Nah ini yang membuat banyak orang betah nongkrong di sini, apalagi malam Minggu.

Di lantai bawah ada kolam ikan dan jembatan mini yang cukup menarik. Sedangkan sebuah aquarium besar dengan ikan sejenis Arwana, ada di sudut menutupi pintu toilet.



Jalan menuju ke atas bukan berupa tangga biasa, melainkan jalan menanjak yang berbentuk lorong dengan dinding batangan kayu yang berputar.

Sebuah bemo, kendaraan khas kota Bogor di masa lalu, ada depan toilet. Warnanya abu abu. Kita boleh menaiki bemo ini dan berpura-pura mengendarainya. Tentu saja saya tidak melewatkan kesempatan untuk berfoto di sini.

Meja-meja dan kursi makan terbuat dari kayu. Beranda atas malah dilengkapi dengan beberapa sepeda onthel untuk hiasan atau selfie dengan latar belakang pemandangan jalan raya dan rindang pepohonan.



Tanpa AC, lantai atas ini tidak terasa panas, apalagi dilengkapi dengan kipas angin yang tergantung di plafon. Disediakan pula ruang khusus yang disewakan untuk acara keluarga dan kantor.