Segara mengemudikan mobil sambil berpikir keras. Betul dugaannya kalau Craen Mark tidak mati, ia terlalu tangguh untuk dikalahkan. Puluhan tahun menjadi "God Father", membuat dia selalu waspada dalam keadaan apapun. Bagaimana dengan nasib Kylian yang berusaha membunuh pria itu?
Konsentrasi Segara pecah ketika menyadari ada mobil yang mengikutinya. Mobil Terrano hitam yang tepat berada di belakangnya sejak masuk pintu tol. Kini mobil itu berusaha mepet ke mobilnya, siap menyeruduk.
Spontan Segara menginjak pedal gas. Mobilnya meliuk-liuk di jalan tol, berkejaran dengan Terrano yang juga menambah kecepatan. Lalu, mobil hitam itu berhasil menyalip dari sisi kanan. Sebuah tangan menyembul dengan menggenggam senjata api.
Segara mengerem mendadak dan membanting setir ke kiri. Untunglah tidak ada mobil lain di belakangnya sehingga ia selamat dari kemungkinan tabrakan. Terrano yang terlanjur kencang sulit untuk mundur atau berbalik karena kemudian ada beberapa bus berjalan beriringan.
Sedapat mungkin Segara memundurkan mobil. Tadi dia melihat ada belokan, dia bermaksud mencari jalan lain keluar tol. Tak berapa lama jalan itu ketemu, Segara pun menyusuri jalan itu sambil memutar otak.
"Itu pasti suruhan Craen Mark. Mereka menerima perintah untuk membunuhku," kata Segara dalam hati.
*****
Segara baru saja menutup pintu mobil yang diparkir di bawah gedung apartemen tempat tinggalnya saat lima orang lelaki bertubuh kekar dan menggunakan topeng muncul dari beberapa arah. Terlambat untuk berbalik, mereka telah mengepungnya.
Kewaspadaan tingkat tinggi Segara menyelamatkan diri dari hantaman seorang lelaki. Selagi dia menangkis, satu orang lagi melayangkan tendangan. Reflek, ia menjatuhkan diri ke lantai. Tetapi orang yang di belakang berhasil menyambar tulang keringnya.
"Aagh," Segara mengaduh. Namun ia segera berkelit dari serangan berikutnya. Segara melompat melancarkan tendangan ke leher salah seorang penyerangnya. Tapi kakinya bagai membentur tembok. Lelaki itu bergeming. Padahal orang biasa bakal pingsan jika terkena.
Segara mengumpat dalam hati, "Duh, apa dia kebal?"
Serangan demi serangan datang beruntun. Mereka tidak hanya pandai ilmu bela diri, tetapi juga kuat dan tangguh. Pukulan dan tendangan balik dari Segara seakan tidak memberi efek apapun. Mereka sama sekali tidak kesakitan.
Segara mulai kelelahan, ia mencoba melarikan diri. Sayangnya ketika berusaha melompati sebuah mobil, salah seorang penyerang menghentikan dengan rantai yang dibawanya, membelit kaki Segara. Lelaki muda itu terbanting ke lantai, lalu ada kaki yang menyambar belakang kepalanya. Segara menjadi pusing, pandangan mulai menjadi gelap.
Tetiba, sebuah bayangan berkelebat secepat kilat. Segara hanya merasakan tubuhnya terangkat melayang. Setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi. Segara pingsan karena cidera di kepalanya.
*****
Hawa dingin memaksa Segara terbangun dari pingsannya. Dia membuka mata, ternyata dia berbaring di atas balai-balai dengan selimut tipis. Segara mengamati sekelilingnya, ruangan yang tidak begitu luas, dengan lantai dilapisi kayu jati yang tersusun rapi.
Belum sempat dia beringsut, pintu terbuka. Seorang perempuan setengah baya mengenakan gamis dan jilbab membawakan nampan berisi makanan dan secangkir teh hangat.
"Saya tahu kamu pasti sudah bangun. Minumlah supaya pikiran menjadi segar," katanya lembut.
Segara menghabiskan teh hanya dengan sekali tegukan. Baru terasa ia sangat kehausan. Perempuan itu kembali menuang teh dari teko kecil di atas nampan. Segara makan dan minum dengan lahap. Setelah habis, barulah ia teringat untuk mengucapkan terimakasih.
"Saya ada di mana?"
"Di lereng gunung Pangrango," jawab perempuan itu. "Tenanglah, tidak ada yang bisa mengejarmu sampai ke sini".
Segara terkejut, siapakah perempuan di hadapannya? Mengapa dia di bawa ke tempat ini. Siapa yang menolongnya?
Seakan bisa membaca pikiran, perempuan itu tersenyum dan menjelaskan,"Saya yang tadi menyelamatkan kamu dan membawa kamu kemari'.
"Bagaimana Tante melakukan hal itu?" Segara penasaran. Ia teringat bayangan berkelebat tadi, rupanya gamis hitam yang dipakai perempuan tersebut.
"Saya memiliki ilmu yang diturunkan dari bapak. Beliau adalah pendiri pesantren dan pemimpin padepokan silat di Jogjakarta,"
"Mengapa Tante mau menolong saya?"
"Nak, saya adalah Rara Rengganis sahabat Korri Banimasse yang juga adalah ibu dari Segara. Ya, Karmila Aurora adalah sahabat saya ketika kuliah dulu," tutur perempuan itu.
Dahi Segara mengerinyit, antara kebingungan dan keheranan.
"Tentu saja kamu bingung, karena kamu bukan Segara yang asli," perempuan itu menatap setajam elang.
"Saya tahu kamu sebenarnya adalah Materangi junior yang menyamar sebagai Segara untuk menyelesaikan masalah dengan Craen Mark,"
Segara takjub. Darimana dia tahu? Kembali perempuan bernama Rara Rengganis itu tersenyum. "Saya bisa membaca pikiran kamu,"
Jantung Segara berdesir, belum pernah ia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu tinggi dan juga indera keenam yang langka.
"Karena saya dan Korri bersahabat, maka hubungan batin kami sangat kuat. Boleh dikatakan menjadi telepati ketika dia mengalami kesulitan. Saya tahu apa yang dialaminya," tutur Rara Rengganis.
"Namun saya mendukung keputusan ayahmu untuk menghentikan dendam ini. Tidak perlu hidup dalam kegelapan selamanya," tegas perempuan itu.
" Sekarang tidurlah, besok kamu bisa berangkat ke Jerman."