Rabu, 29 Januari 2020

Mandi Mewah Dengan Parfum ala Vitalis



Perempuan mana yang tak suka bau wangi? Seorang wanita pada umumnya memiliki parfum untuk mengharumkan tubuh, terutama jika hendak bepergian. Kalau tidak memakai parfum, rasanya ada yang hilang, kurang percaya diri. Masalahnya, kalau sedang terburu-buru, suka lupa memakai parfum.

Nah, sekarang tidak perlu kuatir lagi akan terlupa. Soalnya kalau sudah harum dari sejak mandi, tentu tidak perlu memakai parfum lagi. Karena itulah saya jatuh cinta pada Vitalis body wash yang mewah dengan keharuman layaknya parfum. Sewaktu mandi dengan menggunakan Vitalis body wash, rasanya seperti mandi parfum, sama saja dengan mandi keharuman.



Maklum, soalnya setiap hari saya berkutat dengan bau tak sedap. Baik itu ketika naik kereta atau naik ojek online. Semua bikin pusing kepala, hilang deh semangat dan inspirasi. Jadi tidak bisa mood dalam mengerjakan sesuatu. Padahal sebagai penulis mood sangat berpengaruh terhadap tulisan.

Semenjak memakai Vitalis, rasanya seperti  hidup glamor ala  artis, mewah dengan keharuman yang melekat sampai ke hati. Baru kali ini saya menemukan body wash yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan saya. Vitalis body wash bukan sabun biasa, ini merupakan sabun kecantikan yang kaya dengan keharuman parfum mewah, membuat kita menjadi glamor. Vitalis sangat memanjakan kaum wanita.



Menurut saya, ada tiga keunggulan yang dimiliki Vitalis Body Wash, antara lain:

1. Keharuman yang sempurna, tidak kalah dengan wangi parfum mewah. Keharuman ini membuat sejak dituangkan di telapak tangan hingga dibersihkan kembali dengan air. Seluruh ruangan kamar mandi dipenuhi bau wangi dari Vitalis. Betul-betul mandi keharuman.

2. Keharuman Vitalis memberikan rasa tenang dan bahagia bagi perempuan. Kalau kamu sedang kesal, marah atau tertekan karena sesuatu/seseorang, masuk saja kamar mandi, menyiram diri dengan keharuman Vitalis. Puaskan dirimu hingga suasana hatimu kembali ceria.

3. Meski penuh dengan keharuman, Vitalis body wash ini tetap berfungsi membersihkan tubuh dari kuman dan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit. Jadi tubuh kita juga bersih dan sehat. Selain itu, Vitalis body wash membuat kulit terasa lebih lembut.



Kelebihan-kelebihan itu karena Vitalis body wash terbuat dari bahan alami yang membantu merawat kesehatan dan kecantikan kulit kita. Bahan-bahan alami yang terdapat di bumi Nusantara ini.

Ada tiga varian Vitalis body wash. Pertama yang berwarna hijau Fresh Dazzle yang diperkaya dengan jeruk Yuzu dan teh hijau, menjaga kelembaban kulit, wanginya menaikkan suasana hati, membantu kita tampil glamor dan dikagumi.

Kedua, yang berwarna pink White Glow yang diperkaya dengan minyak liconice dan susu, menjaga kelembaban dan merawat kulit supaya bersih dan tampak cerah bersinar.

Ketiga, yang berwarna ungu Soft Beauty yang diperkaya dengan ekstrak alpukat dan vitamin E, menjaga kelembutan dan merawat kulit lembut dan elastis.
Untuk mengetahui lebih lengkap, silakan disimak di
http://www.pesonavitalis.com

Vitalis mana yang menjadi favorit kamu? Hijau, pink atau ungu? Kalau saya sih suka semuanya. Saya pakai bergantian sehingga bisa menikmati semua keharuman Vitalis. Saya jadi tambah semangat melakukan aktivitas sehari-hari.



Karena saya juga seorang traveler, maka saya menjadikan Vitalis sebagai benda yang wajib dibawa. Soalnya di penginapan seperti hotel atau guest house, belum tentu memberikan sabun yang sesuai, malah banyak yang tidak menyediakan sabun.



Apalagi jika saya sedang melakukan petualangan di hutan atau gunung, Vitalis menghilangkan bau keringat yang menyerbu sepanjang jalan. Begitu pula jika saya berolahraga. Setelah berenang pun, lebih suka pakai Vitalis.

Bagaimana dengan kamu?

#PesonaVitalis
#mandikeharuman
#mandiparfum

Selasa, 28 Januari 2020

Merayakan Imlek di Thamrin 10



Hari raya Imlek yang jatuh pada Sabtu lalu tetap meriah walaupun hujan mengguyur sepanjang hari di beberapa tempat. Setidaknya, di pusat kota Jakarta tampak tidak terpengaruh cuaca, acara tetap berjalan dengan kegembiraan.



Begitu pula di Thamrin 10, park and side, tempat nongkrong baru yang ada di sebelah hotel Sari Pan Pasifik Indonesia. Banyak pengunjung yang datang untuk berlibur bersama teman-teman atau keluarga. Di sana ada panggung untuk menampilkan beragam acara seni dari musik hingga tari.

Nah, pertunjukan khas pada hari Imlek adalah seni Barongsai. Ketika saya datang selepas Ashar, ada pertunjukan Barongsai. Sayangnya belum melakukan atraksi yang mendebarkan. Mereka hanya berkeliling sejenak.



Saya pun mengelilingi booth kuliner yang menawarkan berbagai macam makanan dan minuman. Harganya bervariasi, cukup terjangkau oleh seorang blogger. Saya sih tetap memilih kopi sambil duduk santuy memperhatikan orang-orang yang datang dan pergi. Cuaca gerimis, tetapi semakin sore semakin banyak yang datang.



Ada dua pemuda berpakaian tradisional Cina (baju koko merah) menganjurkan untuk menulis harapan tahun ini di sehelai pita yang kemudian diikat di pohon harapan. Karena iseng, saya pun melakukannya. Pohon itu telah penuh dengan ikatan pita dari pengunjung yang lain.



Sesudah sholat Maghrib, saya berniat pulang. Eh ternyata bertemu dengan teman-teman blogger yang baru datang. Mereka juga ingin menghabiskan malam Minggu di tempat itu. Nah ketahuan jomblo deh kami ini.



Lantas kami menonton pertunjukan Barongsai lagi di panggung. Kali ini pakai loncat-loncat meski tidak dramatis. Begitu pula dengan ular naga yang meliuk-liuk di depan panggung. Atraksi yang cukup menghibur, terutama bagi yang membawa anak-anak.

Setelah pertunjukan Barongsai selesai, kami ngobrol saja. Untunglah Hujan berhenti, sehingga kami punya kesempatan berfoto bersama di beberapa spot yang tersedia.



Puas mengabadikan momen, kami lanjutkan dengan wisata kuliner di jalan Sabang. Lho, kenapa ke sana? Bukan makan di Thamrin 10 saja. Masalahnya, beberapa teman tidak memiliki simpanan di aplikasi QR code. Karena di Thamrin 10 tidak bisa menggunakan uang tunai.

Selasa, 21 Januari 2020

Western Food di Klasiknya Cafe Taman Sari Jogja


Taman  SariJogjakarta merupakan salah satu tempat wisata terkenal, ikon kota gudeg ini. Lokasinya masih satu kawasan dengan keraton Ngayogyakarta, setelah alun-alun dan pasar Ngasem. Di dalam Taman Sari terdapat pemandian putri-putri keraton dan masjid bawah tanah.

Nah, tak jauh dari pintu gerbang yang menjual tiket masuk Taman Sari ada sebuah cafe yang asri. Namanya juga cafe Taman Sari untuk menandai bahwa lokasinya di Taman Sari. Memang enaknya mampir dulu ke cafe ini sebelum memasuki Taman Sari, karena pintu keluar berbeda dengan pintu masuk.



Semula saya mengira, karena namanya cafe Taman Sari, makanan yang disajikan adalah makanan tradisional khas Jogjakarta. Ternyata dugaan saya salah. Ketika membaca menu yang disodorkan, justru lebih banyak menawarkan western Food. Antara lain seperti pizza, burger, spaghetti, French fries dll.



Hanya ada beberapa menu yang khas masakan Nusantara. Jenis minuman lebih bervariasi. Saya memesan teh jahe untuk menghangatkan diri. Secangkir teh dibawakan kepada saya, di dalam cangkir ada dua potong besar jahe.



Namun yang saya sukai adalah suasana cafe tersebut, ditata dengan apik meski tidak terlalu luas. Ada tirai dari desain, koridor tanaman merambat, bunga-bunga, pohon rindang dan perangkat meja kursi dari kayu. Angin semilir bisa membuat kita terkantuk-kantuk di sini.



Sedangkan di dalam bangunan rumah klasik terdapat galeri seni. Beberapa hasil karya lukis dan seni pahat yang menaruh ada di dalam ruangan. Beberapa buku juga mengisi ruangan tersebut.



Menurut orang-orang yang melayani saya, cafe ini milik salah satu bangsawan keraton. Ini adalah properti beliau untuk menunjang keberadaan pariwisata Taman Sari. Sayangnya harga makanan lumayan tinggi dibandingkan dengan rerata rumah makan di Jogjakarta.


Minggu, 19 Januari 2020

Melangut di Benteng Vredeburg Yogyakarta


Orang Yogyakarta pasti tahu benteng Vredeburg. Letaknya sangat strategis, di dekat titik nol kota Yogya. Bersebelahan dengan pasar legendaris, Beringharjo. Jadi kalau ke titik nol Yogyakarta, banyak yang bisa didapat, Malioboro, Beringharjo, Keraton dan alun-alun serta Rumah Pintar.

Benteng Vredeburg bisa dicapai dengan berjalan kaki dari stasiun Tugu, menyusui sepanjang jalan Malioboro hingga titik nol Yogyakarta. Kalau dari tempat lain, gunakan saja Trans Yogyakarta jalur satu, berhenti tepat di halte depan benteng Vredeburg.

Saya sudah sering ke sini, suasananya enak buat menyepi. Di halaman belakang, tiupan angin membuat saya melangut, terkantuk-kantuk ingin tidur, tapi malu karena wisatawan datang dan pergi melewati saya. Di halaman tengah hingga belakang memang ada beberapa perangkat meja kursi yang dinaungi tenda sehingga banyak anak-anak muda yang memanfaatkannya.



Dahulu tempat ini sempat terbengkalai, tidak rapi dan banyak pedagang berjubel di depan benteng. Kesannya kusam dan kumuh. Setelah Pemda Yogyakarta mengedepankan pariwisatanya, maka benteng ini dibenahi dan direnovasi.

Sekarang benteng ini menampilkan jati dirinya yang megah berwibawa. Meski begitu, tiket masuk tetap murah meriah. Kalian bisa ajak semua keluarga ke sini. Setelah membeli tiket, melewati gerbang, kita akan melihat patung laki-laki dengan baju adat Yogyakarta, mengenakan blangkon.



Bagi yang ingin mempelajari sejarah, masuklah ke ruang-ruang yang menampilkan diorama sejak zaman Belanda. Lebih baik jika minta pihak museum untuk mendampingi atau ada guide lokal agar bisa menjelaskan sejarah tersebut.

Secara singkat, benteng Vredeburg ini dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun atas1760 permintaan Belanda. Gubernur dan direktur pantai Utara waktu itu adalah Nicolaas Harting. Ia memerintahkan pembangunan benteng dengan alasan untuk menjaga keamanan keraton dan sekitarnya. Padahal maksudnya adalah untuk mengontrol dan mengawasi perkembangan yang ada di keraton.




Mulanya benteng itu hanya terbuat dari tanah dengan tiang penyangga dari batang kelapa dan enau. Sedangkan di dalamnya terbuat dari bambu dan kayu, atapnya dari dari ilalang. Ada empat sudut penjagaan yang masing-masing diberi nama oleh Sri Sultan, yaitu Jaya Wisesi (sudut Barat Laut), Jaya Purusa (sudut Timur Laut), Jaya Prakosoningprang (sudut Barat Daya) dan Jaya Prayitno (sudut tenggara).

Kemudian pada tahun 1767 di bawah perintah Gubernur Belanda, WH Van Ossenberg mulai dibuat permanen dan diganti namanya menjadi benteng Rustenberg (benteng peristirahatan).



Namun pada tahun 1867 terjadi gempa yang cukup dahsyat sehingga benteng ini rusak parah. Benteng akhirnya dibangun kembali lebih megah dengan nama benteng Vredeburg hingga sekarang.

Di halaman belakang yang luas ada rerumputan segar. Dua bangunan di kanan kiri halaman belakang tidak dibuka untuk umum. Sebagian menjadi tempat simpanan arsip.



Jika anda ingin foto selfie, sama sekali tidak dilarang, yang penting tidak merusak benda-benda milik museum. Dan jangan lupa untuk selalu menjaga kebersihan, buang sampah pada tempatnya.


Kamis, 09 Januari 2020

Jalan Pulang Dari Baduy Dalam Dengan Track Berbeda


Usai diskusi, sebagian teman mulai tidur, sebagian teman lagi masih ngobrol di depan pintu, termasuk kang Egar. Saya hanya membaringkan tubuh karena memang tidak bisa tidur sama sekali. Walaupun memejamkan mata tetapi kantuk justru hilang.

Menjelang tengah malam semua sudah masuk dan membungkus diri. Ada yang mengenakan sleeping bag, selimut atau sarung. Saya hanya memakai sarung dengan kaos kaki dan jaket. Tiba-tiba saya merasa kedinginan, ada angin dingin menerobos masuk melalui celah pintu. Saya yang berbaring di dekat pintu merasakan hembusan angin itu.

Untuk beberapa lama saya menggigil dan meringkuk untuk menghangatkan diri. Dalam hati juga berdoa agar hawa dingin ini cepat berlalu. Akibat kedinginan, saya jadi ingin buang air kecil, tapi saya tidak tega jika membangunkan orang lain untuk menemani ke sungai. Akhirnya saya menahan menunggu subuh tiba. Di sela-sela waktu menunggu saya tahu kang Safrii keluar bolak balik sekitar tiga kali. Agaknya karena mendengar suara binatang yang mendekat ke rumah.

Pukul 04.19 saya membangunkan Wanda, gadis yang tidur di sebelah saya. Saya ajak dia ke sungai. Kami berdua keluar dengan hati-hati membawa satu senter. Lega rasanya setelah berhasil ke sungai. Beberapa teman juga terbangun setelah saya selesai shalat Subuh.

Pagi mulai ramai, kami minum teh dan kopi panas. Sarapan pun disediakan oleh kang Safrii. Menurut rencana kami akan kembali turun pukul delapan. Usai sarapan kami berbenah memasukkan pakaian ke dalam ransel. Pakaian basah kemarin membuat tas menjadi lebih berat.



Kira-kira pukul 09.30 kami berkumpul dan berdoa di sebuah tempat terbuka. Lalu mulai perjalanan untuk kembali pulang. Ternyata track pulang berbeda dengan keberangkatan. Menurut kang Egar, jalur yang dilalui lebih panjang tapi tidak se-ekstrim jalur keberangkatan.

Walaupun begitu, bukan berarti perjalanan lebih ringan. Hujan kembali turun meski tidak deras. Tetapi tanah basah bekas hujan kemarin belum kering, ditambah hujan lagi. Kemudian tubuh juga masih lelah dan kaki terasa pegal-pegal. Jadi perjalanan ini tetap saja berat. Untunglah ada kang Herman, suku Baduy Dalam yang menjaga saya.

Beberapa kali melewati tanjakan dan turunan yang licin. Sesekali berhenti melihat duren yang jatuh. Ada beberapa monyet yang berpesta di atas pohon duren. Sayangnya duren yang jatuh dekat track tidak ada yang matang. Saya heran ketika di tengah hutan ada yang berjualan minuman dan air mineral. Dia tahu ada rombongan yang turun dari Baduy Dalam.

Jalur tanah yang dilalui semakin licin. Ada teman perempuan yang jatuh di depan saya. Waduh, yang masih muda saja bisa jatuh, apalagi saya. Tanah becek menutupi sandal gunung yang saya pakai. Tongkat menjadi tumpuan agar tidak terpeleset.

Namun di sebuah turunan yang sangat licin, tongkat saya tiba-tiba patah, saya pun terpeleset jatuh terduduk. Untunglah tidak terjadi sesuatu yang parah. Saya dibantu kang Herman untuk bangkit berdiri dan seorang teman gadis menyodorkan tongkatnya untuk saya gunakan.

Saya berjalan lagi dengan hati-hati, sesekali dituntun kang Herman jika track terlalu terjal atau licin. Saya hanya berharap agar kuat sampai akhir perjalanan. Dalam perjalanan pulang ini, kami menjadi terpisah-pisah. Saya tak tahu berapa orang di depan saya dan berapa orang di belakang saya.



Kami melewati tanaman padi yang dijaga seorang anak di gubuk. Setelah itu ada turunan dan belokan yang latar belakangnya adalah lembah. Ternyata di sini kami sudah boleh berfoto. Meski masih gerimis, kami mengeluarkan hape untuk ber-selfie.



Setelah itu ada track berbatu yang tersusun lebih rapi dari jalur keberangkatan. Tapi track ini tidak panjang, selanjutnya kembali terjal dan licin. Saya harus ekstra hati-hati agar tidak terjatuh. Tangan kanan sudah sakit karena selalu memegang tongkat.



Akhirnya tiba juga di sebuah perkampungan milik Baduy Luar, kami istirahat cukup lama di sini, menghilangkan haus dan ketegangan. Perkampungan ini cukup bagus difoto sehingga teman-teman juga memanfaatkan dengan sebaik-baiknya.


Kami cukup lama di perkampungan ini, sambil menunggu teman-teman yang lain, foto selfie sepuasnya. Saya memilih untuk tetap duduk untuk mengistirahatkan kaki daripada bolak balik foto. Biarlah itu buat anak-anak muda.



Cuaca masih gerimis, saya melanjutkan perjalanan bersama kang Herman. Ada dua pilihan, yang mau ke akar gantung atau lurus saja menuju lokasi pulang. Banyak teman memilih ke jembatan akar gantung. Memang jembatan akar ini merupakan ikon kunjungan ke Baduy.



Tetapi karena track ke jembatan akar gantung juga naik turun, saya memilih untuk tidak ke sana, kuatir tambah lelah dan lemah. Jadi saya memisahkan diri dari teman-teman, lebih dahulu menyusuri jalan pulang.

Beberapa kali naik turun melewati tebing yang banyak pohon duren, bertemu sungai kecil dengan banyak batu. Kami sempat juga melihat sungai besar yang dilalui jembatan akar, airnya terdengar bergemuruh. Menurut kang Herman, namanya sungai Cicimet. Sungai ini kelak bertemu dengan sungai Cidurian di bawah. Sungai Cidurian yang menyebabkan banjir bandang di Lebak.



Jalur terbagi dua lagi, yang lewat sawah atau tebing. Saya lebih memilih naik ke tebing karena lewat sawah lebih berat, tanah becek bakal menempel di alas kaki. Setelah terengah-engah melewati tebing kami tiba di tempat yang sudah terbuka. Di sini ada tawaran ojek ke pangkalan mobil Elf dan angkot yang menunggu kami, tarifnya 30 ribu.

Saya ragu naik ojek, kang Herman mengatakan tinggal 2 kilometer lagi. Dalam hati, saya bilang tanggung kalau tidak diselesaikan dengan jalan kaki. Akhirnya saya melanjutkan perjalanan tanpa ojek bersama kang Herman. Eh di tengah jalan, tiba-tiba ada teman cowok yang melambaikan tangan, naik ojek.

Pukul setengah dua siang saya tiba di pangkalan, rasanya lega banget berhasil menyelesaikan perjalanan. Kami melepas lelah dengan minum sebanyak-banyaknya dan makan Indomie di sebuah warung. Teman-teman lain tiba dalam waktu yang berbeda.



Sekitar jam tiga-an kami meluncur menuju stasiun Rangkasbitung. Tubuh sudah sangat lelah. Kaki terasa sakit, tidak bisa rukuk dengan baik ketika shalat. Kami naik Commuter Line yang jadwalnya pukul lima sore menuju stasiun Tanah Abang.

*I am so tired, but it's Unforgettable

Rabu, 08 Januari 2020

Satu Malam Dalam Keremangan di Baduy Dalam


Sore menjelang Maghrib, kami beristirahat di rumah yang menyediakan tempat untuk bermalam. Ternyata ada ibu-ibu pedagang dari Baduy luar, dengan bakul ia membawa pop mie, gorengan dan kopi sachet. Jadilah dagangan dia laris diserbu pembeli. Saya sendiri hanya memesan segelas kopi.

Selain itu kami juga memakan bekal cemilan yang dibawa dari bawah seperti biskuit. Tetapi sampah bekas makanan harus dikumpulkan dan dibawa lagi besok keluar Baduy. Kita tidak boleh meninggalkan sampah. Perkampungan Baduy Dalam harus tetap bersih. Ibu pedagang tidak menginap tapi turun gunung.

Sebelum menjadi gelap total, teman-teman ada yang nekad mandi. Masalahnya, kita mandi di sungai yang mengalir beberapa meter di belakang rumah. Tidak ada bilik yang menutupi, terbuka dan dapat dilihat orang lain (kalau iseng). Tapi yang jelas suku Baduy tidak pernah iseng.

Bagaimanapun saya tidak merasa nyaman mandi di sungai terbuka. Begitu pula beberapa teman perempuan yang lain. Kami hanya buang air kecil secara bergantian dengan saling menjaga. Oh ya, tidak boleh memakai odol atau sabun di sini, hanya air sungai saja.

Sebenarnya ada juga pancuran di tepi sungai, sekitar 30 meter dari tempat saya. Tapi kami terlalu lelah untuk ke sana, kaki terasa sakit, betis masih kencang. Jadi sebagian besar terpaksa ke sungai terbuka ini. Kalau laki-laki dengan laki-laki, kalau perempuan dengan perempuan.

Saya juga berwudhu dengan air sungai, sah saja karena airnya mengalir kencang dan saya ambil agak ke tengah. Kami sholat Maghrib bergantian tanpa banyak suara untuk menghormati peraturan di Baduy Dalam. Mereka tidak menganut agama resmi yang lima, sepertinya masih animisme atau dinamisme.

Rumah yang kami tempati milik Kang Safrii, yang tadi juga menjemput di bawah. Kalian yang belum pernah ke sini pasti terkesan melihat lelaki Baduy ini karena parasnya yang tampan, kulitnya putih bersih.



Sesungguhnya suku Baduy Dalam memang memiliki keunggulan fisik yang membuat kita kagum. Mereka kuat naik turun gunung, mungkin itulah yang menyebabkan tubuh mereka langsing. Kulit putih bersih, banyak yang tampan dan cantik. Bahkan saya melihat gadis kecil yang sangat cantik, seperti blasteran/indo.

Suasana dengan cepat menjadi gelap. Penerangan di dalam rumah hanya semacam obor mungil dengan bahan bakar minyak goreng. Maklum di sini tidak ada listrik sama sekali. Entah bagaimana cara membuat lampu tersebut. Sebagai tambahan penerangan, ada teman yang menggantung senter dan lampu portabel yang dibawa dari rumah.

Kang Safrii dan istrinya menyediakan makan malam. Menunya sih sederhana, biasa kita makan sehari-hari di rumah. Tapi perangkat makannya bukan piring, melainkan mangkuk. Di sini tidak ada yang menggunakan piring. Sedangkan gelasnya terbuat dari bambu yang dipotong.

Hanya ada satu kamar untuk kang Safrii beserta istri dan anaknya. Kami tidur di ruang memanjang dari depan sampai belakang, yang saya identifikasi sebagai ruang tamu dan keluarga, pemisahnya hanya sebatang kayu. Bentuk rumah di perkampungan Baduy Dalam sama semua, dari kayu dan anyaman bambu tanpa nomor, tanpa nama dan tanpa gang. Hal itu menyebabkan ada teman yang kesasar masuk rumah yang lain, bingung melihat jejeran rumah yang sama.

Istri kang Safrii memasak di dalam kamar dengan tungku yang tidak terlihat karena tertutup. Kami hanya melihat cahaya api ada di kamar. Selesai masak, apinya segera dimatikan. Persediaan air dibawa dengan menggunakan tabung bambu. Selesai makan kami minum teh atau kopi lagi.

Sambil santai kami berdiskusi dengan kang Safrii. Banyak hal yang menjadi pertanyaan, sebab kehidupan suku Baduy berbeda dengan orang seperti kita yang tinggal di kota.

Ternyata suku Baduy Dalam ini tidak terbelakang, mereka bisa membaca dan menulis meski tidak pernah sekolah. Caranya adalah dengan otodidak. Kang Safrii sendiri mulai belajar ketika pertama kali turun ke kota jalan kaki bersama Om-nya. Ini adalah tradisi suku Baduy Dalam.

Nah, saat di kota ia diperkenalkan dengan huruf-huruf melalui papan iklan dan semacamnya. Lama kelamaan dia tahu semua kata dan artinya. Begitulah cara suku Baduy Dalam belajar membaca dan menulis. Bahkan dengan begitu, kang Safrii bisa mempelajari beberapa kata dalam bahasa Inggris. Apa yang saya pikirkan adalah bahwa suku Baduy sangat cerdas, dengan cara otodidak mampu membaca dan menulis.

Satu hal lagi, mereka juga belajar modernisasi. Saya takjub ketika mengetahui kang Safrii dan beberapa temannya memiliki akun Instagram. Mereka menggunakannya ketika berada di bawah atau ketika jalan ke kota. Sedangkan di Baduy Dalam, hape tidak boleh digunakan. Oh ya, kang Safrii sudah 38 kali ke Jakarta berjalan kaki. Dari Baduy Dalam ke Jakarta membutuhkan waktu satu setengah hari berjalan kaki.

Dari penuturan kang Safrii kami baru tahu kalau Baduy Dalam tidak menjual madu ketika turun ke kota. Justru yang menjual madu adalah orang lain, parahnya sekarang banyak orang yang menyamar menjadi Baduy dan menjual madu di pinggir jalan. Padahal madu mereka belum tentu asli. Baduy Dalam lebih suka menjual madu di rumah pada orang yang datang berkunjung. Tempatnya botol tanggung, bukan ukuran botol Marjan. Harganya 60 ribu sebotol, dijamin keasliannya.



Kita tidak akan menyangka ternyata populasi Baduy Dalam cukup besar. Menurut kang Safrii sekitar 15.000 orang terdiri dari beberapa kampung. Di sini namanya kampung Cibeo dengan jumlah penduduk 200 orang. Mereka semua memiliki kartu keluarga dan terdata resmi di kelurahan.

Suku Baduy Dalam tidak menganut poligami lho. Satu pasangan untuk seumur hidup. Tapi jika ada pasangan yang meninggal, boleh menikah lagi. Usia pernikahan paling rendah untuk laki-laki adalah 18 tahun dan perempuan 15 tahun. Adat pernikahan sederhana, tidak pakai pesta dan dandan yang mencolok, hanya makan-makan bersama selama tiga hari.

Hukum adat tetap berjalan ketat, tidak ada yang boleh dilanggar. Kalau ada yang hamil di luar nikah, bakal dikucilkan dalam sebuah rumah. Setelah melahirkan ia disuruh keluar dari Baduy Dalam. Begitu pula dengan pasangannya.

Baduy Dalam juga membolehkan jika ada yang mau menikah dengan orang luar. Tetapi resikonya dia tidak boleh lagi tinggal di Baduy Dalam. Kalau sekedar berkunjung menemui keluarga tidak dilarang, tapi tidak boleh menetap lagi.

Di perkampungan Baduy Dalam tidak ada pemakaman. Orang yang meninggal dikubur dan dikafani. Liang untuk anak sebatas dengkul, sedangkan dewasa sebatas pinggang. Kalau orang Islam dikubur menghadap kiblat , kalau mereka justru menghadap selatan. Di atasnya  tidak ada penanda nisan. Bahkan boleh ditanami setelah seminggu dikubur. Jadi kita tidak akan tahu ada yang dikubur atau tidak di bawah pepohonan.

Sebentar lagi suku Baduy Dalam memasuki bulan Kawalu. Ini ibarat lebaran bagi kita, tapi masanya lebih panjang sekitar tiga bulan. Ada musim panen dan berburu. Hasilnya nanti dikumpulkan bersama ketua adat. Dalam masa Kawalu ini, kawasan Baduy Dalam tertutup untuk umum, tidak boleh ada orang luar yang datang.

Satu hal lagi yang menarik, turis asing tidak boleh memasuki Baduy Dalam. Hal ini terkait dengan masa penjajahan Belanda. Dahulu penjajah Belanda pernah mau membasmi suku Baduy Dalam. Lalu ketua adat menciptakan mitos bahwa orang Baduy Dalam hanya 40 orang sehingga tidak dianggap berbahaya oleh penjajah. Mereka tidak jadi memerangi Baduy Dalam.

NB: foto-foto diambil di Baduy luar karena di Baduy Dalam terlarang untuk mengambil foto.

Menembus Hujan Menuju Perkampungan Baduy Dalam (Bagian 2)


Saya tidak mempersiapkan diri secara fisik ketika  melakukan trip ke Baduy Dalam ini. Mungkin itulah sebabnya saya mengalami kram di kaki. Pendakian terakhir adalah bulan Maret 2019 ke kawah gunung Ijen. Setelah itu hanya berwisata ke tempat-tempat biasa.

Padahal ternyata medan yang harus dilalui untuk menuju perkampungan Baduy Dalam lebih berat dari pendakian Gunung Ijen. Celakanya saya kram sebelum memasuki kawasan Baduy Dalam. Apalagi hujan deras terus mengguyur membuat track semakin terasa sulit.

Untunglah ada teman yang menawarkan membawa ransel saya. Dia juga merupakan tim tour guide yang mendampingi saya. Kami beristirahat di sebuah gubuk sebelumnya mulai menyusuri wilayah Baduy Dalam.



Baru saya sadari bahwa kawasan Baduy Luar ibaratnya hanya pintu masuk yang perjalanannya tidak seberapa dibandingkan ke kawasan Baduy Dalam. Justru perjalanan berat yang sesungguhnya baru dimulai.

Jalur yang kami lewati bukan jalur yang mulus. Kalau pun berbatu, maka batu-batunya tidak beraturan, besar kecilnya tidak sama, tinggi rendahnya juga tidak sana. Padahal jalur itu naik turun. Kalau menanjak menjadi sangat terjal dan kalau menurun menjadi sangat curam.

Karena itulah keberadaan tongkat sangat diperlukan untuk membantu keseimbangan dan juga menahan tubuh agar tidak terpeleset serta mengangkat tubuh ke pijakan yang lebih tinggi.



Hujan deras terus mengguyur, saya semakin merasa lemah, tenaga banyak terkuras dengan track naik turun di jalan yang licin dan terjal.  Beberapa kali kram menyerang sehingga saya terpaksa beristirahat. Syukurlah Egar cukup sabar menjaga saya. Bahkan kami sambil berdiskusi mengenai kehidupan. 

Karena sering berhenti untuk menyesuaikan kaki yang kram, saya menjadi pejalan paling akhir.  Teman-teman tidak tampak, tertutup kabut, air hujan atau karena belokan belokan yang terlindung pepohonan.

Di tengah perjalanan ada tanaman padi yang masih baru. Mereka menanam di tebing yang memiliki kemiringan lereng gunung, sekitar 60 derajat.  Heran juga bagaimana cara mereka menanam padi dengan rapi di tebing seperti itu.

Hujan bertambah deras, saya beberapa terpeleset, nyaris terjatuh. Untung ada tongkat dan pegangan kayu. Kalau tidak pasti saya akan kesulitan melanjutkan perjalanan.



Tanjakan paling menyeramkan adalah tanjakan cinta, entah di kilometer berapa.  Tanjakan itu sangat terjal dan licin, nyaris membuat saya terguling. Hujan deras.membuat tanjakan ini menjadi horor. Karena itulah tanjakan ini paling dikenal. Tetapi yang menamakan ini tanjakan cinta bukan orang Baduy, melainkan orang-orang yang sudah melewatinya. Konon kalau tidak dengan cinta (kepada alam) akan sulit melewati jalur ini.

Saya sangat bersyukur ketika akhirnya berhasil melewati tanjakan cinta. Aduhai ternyata nyawa saya masih ada.  Soalnya kalau terjadi sesuatu, sulit untuk meminta pertolongan karena kanan kiri adalah pepohonan atau jurang.

Tanjakan cinta bukan akhir perjalanan. Track masih beberapa kilometer lagi. Dengan sisa tenaga saya berjalan pelan-pelan, masih naik turun tapi tidak terlalu terjal lagi. Ada tiga jembatan kecil yang dilewati. Sesekali Egar memantau keberadaan teman-teman melaui suara isyarat burung. Betapa gembiranya saya ternyata mereka tidak terlalu jauh. Rupanya mereka juga mengalami kesulitan di tanjakan cinta, menurut pengakuan beberapa teman, mereka juga hampir menyerah.

Sekitar pukul lima sore lebih (mungkin setengah enam) saya tiba di kampung Cibeo dimana kami akan menginap semalam.

Selasa, 07 Januari 2020

Menembus Hujan Menuju Perkampungan Baduy Dalam (Bagian 1)


Beberapa hari yang lalu saya mengikuti trip ke Baduy Dalam. Ini sungguh tak direncanakan sebelumnya karena semula berniat ke Garut untuk tahun baruan. Berhubung teman yang mengajak ke Garut membatalkan diri, secara iseng saya melihat paket trip yang ada di Instagram.

Dari sekian banyak grup trip, saya tertarik pada satu saja karena keberangkatannya pada hari Selasa tanggal 31 Desember. Malam tahun baru menginap di perkampungan Baduy Dalam, esok harinya kembali ke Jakarta.

Lantas saya menghubungi tour guide yang menawarkan trip tersebut. Saya menanyakan apakah masih bisa ikut serta, ternyata jawabannya bisa. Maka pada malam itu saya langsung packing untuk persiapan esok pagi.

Sesuai petunjuk, meeting point di stasiun Tanah Abang atau Rangkas Bitung. Karena itu setelah Subuh saya meluncur dengan menggunakan Commuter Line. Ketika tiba di stasiun Tanah Abang pukul 06.30, saya mendengar pemberitahuan bahwa kereta ke Rangkas Bitung sudah tersedia. Saya tidak jadi ikut meeting point di stasiun Tanah Abang, tapi langsung menaiki kereta tersebut.

Dua jam kemudian saya sudah berada di stasiun Rangkas Bitung . Saya yakin teman-teman belum ada yang tiba di sini, karena itu saya sarapan dahulu di salah satu gerai fast food yang ada di stasiun. Selesai sarapan saya duduk menunggu di koridor menuju pintu keluar.

Selang beberapa menit, di grup WA mulai ada absen. Saya memberi tahu bahwa saya sudah di stasiun Rangkas Bitung. Ternyata tour guide yang bernama Egar, sudah ada di dekat pintu keluar. Saya pun bergabung dengan dia dan teman-teman yang lain.

Pukul 10.00 kami berangkat dengan menggunakan mobil Elf dan satu angkot menuju desa Cibeuleger yang berada di kawasan Baduy Luar. Sekitar pukul sebelas lebih sedikit kami tiba di sana. Beberapa orang suku Baduy Dalam telah menunggu di depan warung.



Teman-teman beristirahat dan makan di warung. Sebagian membeli bekal untuk perjalanan. Saya ke mini market membeli air mineral, selain itu juga teh dan kopi untuk oleh-oleh yang akan diberikan pada empunya rumah yang bakal kami tinggali. Menurut petunjuk, mereka paling suka diberi ikan asin, tapi saya tidak mau membawa sesuatu yang amis.

Usai shalat Lohor di masjid terdekat, kami berfoto dan berdoa dulu sebelum berangkat. Kami naik dari gapura Baduy Luar yang merupakan titik awal pemberangkatan. Semula jalannya cukup bagus, dicor dan cukup lebar. Tetapi tak lama kemudian track berubah menjadi batu-batu besar dan kasar.

Di samping kiri kanan ada deretan rumah Baduy Luar. Rerata masih terbuat dari kayu. Beberapa rumah menawarkan dagangan hasil kerajinan seperti tas, pakaian, syal dsb, termasuk ikat kepala khas Baduy Luar berwarna biru dongker bermotif daun/bunga. Karena ini musim duren, banyak juga yang menjual duren hasil tanaman sendiri.



Di suatu tempat, ada wanita Baduy Luar yang menjual tongkat dari ranting pohon. Tongkat ini kelak berguna membantu kita dalam perjalanan. Harganya murah, hanya lima ribu per dua tongkat. Meski begitu saya malas membeli karena malas menenteng tongkat. Ini ternyata sebuah kesalahan.

Gerimis yang mengiringi lama kelamaan menjadi hujan lebat. Perjalanan semakin sulit, naik turun tangga berbatu melewati sudut-sudut perkampungan Baduy Luar. Perkampungan ini memang tidak terletak pada dataran yang rata, berbeda tinggi rendahnya, ada yang di atas dan ada yang di bawah. Kadang kami harus jalan naik turun, berbelok-belok pada jalur berbatu yang cukup terjal.



Hujan pun semakin deras. Untunglah kami sudah diberitahu untuk memakai jas hujan plastik yang murah meriah. Setidaknya melindungi kami dan tas ransel dari basah. Entah karena perubahan iklim yang drastis, udara menjadi dingin sementara tubuh semakin panas, tetiba kaki kiri saya mengalami kram otot di area betis. Duh, padahal perjalanan masih jauh.

Kebetulan Egar membawa minyak gaharu dari Papua yang kemudian dibalurkan ke kaki. Berkat minyak itu saya bisa berjalan lagi. Seorang teman wanita memberikan tongkatnya kepada saya untuk membantu berjalan. Saya sangat berterima kasih atas kemurahan hatinya. Dia sendiri didampingi kekasihnya yang cukup kuat dan sama-sama hobi naik gunung.

Perkampungan Baduy Luar berakhir di tempat yang dinamakan Gazebo. Di sini ada sebuah jembatan bambu melintasi sungai. Saya sebetulnya ingin memotret jembatan ini, sayang hujan deras. Saya kuatir hape menjadi basah dan rusak.



Perlu diketahui bahwa pengunjung atau wisatawan hanya boleh mengambil foto di kawasan Baduy Luar. Sedangkan kawasan Baduy Dalam terlarang untuk pengambilan gambar dalam bentuk apapun. Larangan lain adalah tidak boleh membuang sampah sembarangan. Jika kita mempunyai sampah makanan, sebaiknya dikantongi dahulu dan baru dibuang setelah keluar dari kawasan Baduy.



Senin, 06 Januari 2020

Menyaksikan Kemegahan De Tjolomadoe, Museum Pabrik Gula di Karanganyar


Setelah beberapa tahun tidak menginjakkan kaki ke kota Surakarta, saya baru tahu kalau pabrik gula Colomadu telah diubah menjadi sebuah destinasi wisata yang keren. Dengan renovasi besar-besaran, Colomadu telah menjadi museum gula yang menjadi incaran turis dari dalam dan luar negeri.



Lokasi museum ini sangat strategis, berada di jalan Adi Sucipto nomor 1. Dari penginapan saya, hotel Alana, mudah dijangkau dengan angkot dan turun persis di depan gerbang. Tetapi museum ini berada di bawah naungan kabupaten Karanganyar, bukan Surakarta. Kalau dari bandara Adi Soemarmo, hanya butuh waktu 10 menit saja menggunakan kendaraan pribadi atau taksi.

Semula pabrik gula ini bernama Colomadu, tapi setelah direnovasi dan dijadikan museum namanya sedikit berubah, menjadi De Tjolomadoe. Menurut sejarahnya, pabrik ini didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1861 dan diresmikan oleh Mangkunegaran IV.



Pada tahun 1928, pabrik gula ini mengalami perluasan area untuk lahan penanaman tebu dan perombakan arsitektur. Kemudian pabrik gula ini beroperasi penuh menjadi andalan produksi gula di Jawa Tengah.

Sayangnya di masa modern, zaman Orde Baru, pabrik ini berhenti beroperasi, tidak lagi memproduksi gula. Pabrik pun menjadi terbengkalai, tidak terurus padahal selama ini banyak berjasa kepada pemerintah dan masyarakat.



Melihat hal itu, pada tahun 2017 beberapa instansi dan perusahaan yang terkait dengan pariwisata membentuk konsorsium untuk menyelamatkan pabrik ini. Melalui renovasi besar-besaran, Colomadu diubah menjadi destinasi wisata Jawa Tengah.



Luas bangunan De Tjolomadoe sekitar 1,3 ha, tetapi luas keseluruhan lahan ada 6,4 ha. Bangunan utama memiliki beberapa pintu dengan nama asli. Misalnya Stasiun Gilingan, adalah pintu masuk pabrik gula. Sedangkan  Stasiun Ketelan untuk area F&B. Sementara stasiun Karbonasi digunakan untuk  Art & Craft dan  Besali Cafe untuk F&B.

Ada beberapa ruangan yang bisa digunakan atau disewakan untuk umum. Seperti Tjolomadoe hall, Concert hall dan  Sarkara hall yang multi fungsi.  Kalau mau mengadakan pertunjukan seni atau bahkan untuk pesta, bisa menggunakan ruangan-ruangan ini.

Halaman yang luas, di bagian samping selain untuk parkir juga pameran atau festival kuliner. Tergantung acara yang diselenggarakan oleh swasta ataupun Pemda Karanganyar.

Ada beberapa spot yang menarik untuk foto, misalnya tangga yang dahulu digunakan  untuk sebuah mesin. Sedangkan di halaman depan ada dua gedung kecil, satu untuk handy craft dan satu lagi berisi mesin yang dahulu digunakan pabrik gula.