Rabu, 08 Januari 2020

Satu Malam Dalam Keremangan di Baduy Dalam


Sore menjelang Maghrib, kami beristirahat di rumah yang menyediakan tempat untuk bermalam. Ternyata ada ibu-ibu pedagang dari Baduy luar, dengan bakul ia membawa pop mie, gorengan dan kopi sachet. Jadilah dagangan dia laris diserbu pembeli. Saya sendiri hanya memesan segelas kopi.

Selain itu kami juga memakan bekal cemilan yang dibawa dari bawah seperti biskuit. Tetapi sampah bekas makanan harus dikumpulkan dan dibawa lagi besok keluar Baduy. Kita tidak boleh meninggalkan sampah. Perkampungan Baduy Dalam harus tetap bersih. Ibu pedagang tidak menginap tapi turun gunung.

Sebelum menjadi gelap total, teman-teman ada yang nekad mandi. Masalahnya, kita mandi di sungai yang mengalir beberapa meter di belakang rumah. Tidak ada bilik yang menutupi, terbuka dan dapat dilihat orang lain (kalau iseng). Tapi yang jelas suku Baduy tidak pernah iseng.

Bagaimanapun saya tidak merasa nyaman mandi di sungai terbuka. Begitu pula beberapa teman perempuan yang lain. Kami hanya buang air kecil secara bergantian dengan saling menjaga. Oh ya, tidak boleh memakai odol atau sabun di sini, hanya air sungai saja.

Sebenarnya ada juga pancuran di tepi sungai, sekitar 30 meter dari tempat saya. Tapi kami terlalu lelah untuk ke sana, kaki terasa sakit, betis masih kencang. Jadi sebagian besar terpaksa ke sungai terbuka ini. Kalau laki-laki dengan laki-laki, kalau perempuan dengan perempuan.

Saya juga berwudhu dengan air sungai, sah saja karena airnya mengalir kencang dan saya ambil agak ke tengah. Kami sholat Maghrib bergantian tanpa banyak suara untuk menghormati peraturan di Baduy Dalam. Mereka tidak menganut agama resmi yang lima, sepertinya masih animisme atau dinamisme.

Rumah yang kami tempati milik Kang Safrii, yang tadi juga menjemput di bawah. Kalian yang belum pernah ke sini pasti terkesan melihat lelaki Baduy ini karena parasnya yang tampan, kulitnya putih bersih.



Sesungguhnya suku Baduy Dalam memang memiliki keunggulan fisik yang membuat kita kagum. Mereka kuat naik turun gunung, mungkin itulah yang menyebabkan tubuh mereka langsing. Kulit putih bersih, banyak yang tampan dan cantik. Bahkan saya melihat gadis kecil yang sangat cantik, seperti blasteran/indo.

Suasana dengan cepat menjadi gelap. Penerangan di dalam rumah hanya semacam obor mungil dengan bahan bakar minyak goreng. Maklum di sini tidak ada listrik sama sekali. Entah bagaimana cara membuat lampu tersebut. Sebagai tambahan penerangan, ada teman yang menggantung senter dan lampu portabel yang dibawa dari rumah.

Kang Safrii dan istrinya menyediakan makan malam. Menunya sih sederhana, biasa kita makan sehari-hari di rumah. Tapi perangkat makannya bukan piring, melainkan mangkuk. Di sini tidak ada yang menggunakan piring. Sedangkan gelasnya terbuat dari bambu yang dipotong.

Hanya ada satu kamar untuk kang Safrii beserta istri dan anaknya. Kami tidur di ruang memanjang dari depan sampai belakang, yang saya identifikasi sebagai ruang tamu dan keluarga, pemisahnya hanya sebatang kayu. Bentuk rumah di perkampungan Baduy Dalam sama semua, dari kayu dan anyaman bambu tanpa nomor, tanpa nama dan tanpa gang. Hal itu menyebabkan ada teman yang kesasar masuk rumah yang lain, bingung melihat jejeran rumah yang sama.

Istri kang Safrii memasak di dalam kamar dengan tungku yang tidak terlihat karena tertutup. Kami hanya melihat cahaya api ada di kamar. Selesai masak, apinya segera dimatikan. Persediaan air dibawa dengan menggunakan tabung bambu. Selesai makan kami minum teh atau kopi lagi.

Sambil santai kami berdiskusi dengan kang Safrii. Banyak hal yang menjadi pertanyaan, sebab kehidupan suku Baduy berbeda dengan orang seperti kita yang tinggal di kota.

Ternyata suku Baduy Dalam ini tidak terbelakang, mereka bisa membaca dan menulis meski tidak pernah sekolah. Caranya adalah dengan otodidak. Kang Safrii sendiri mulai belajar ketika pertama kali turun ke kota jalan kaki bersama Om-nya. Ini adalah tradisi suku Baduy Dalam.

Nah, saat di kota ia diperkenalkan dengan huruf-huruf melalui papan iklan dan semacamnya. Lama kelamaan dia tahu semua kata dan artinya. Begitulah cara suku Baduy Dalam belajar membaca dan menulis. Bahkan dengan begitu, kang Safrii bisa mempelajari beberapa kata dalam bahasa Inggris. Apa yang saya pikirkan adalah bahwa suku Baduy sangat cerdas, dengan cara otodidak mampu membaca dan menulis.

Satu hal lagi, mereka juga belajar modernisasi. Saya takjub ketika mengetahui kang Safrii dan beberapa temannya memiliki akun Instagram. Mereka menggunakannya ketika berada di bawah atau ketika jalan ke kota. Sedangkan di Baduy Dalam, hape tidak boleh digunakan. Oh ya, kang Safrii sudah 38 kali ke Jakarta berjalan kaki. Dari Baduy Dalam ke Jakarta membutuhkan waktu satu setengah hari berjalan kaki.

Dari penuturan kang Safrii kami baru tahu kalau Baduy Dalam tidak menjual madu ketika turun ke kota. Justru yang menjual madu adalah orang lain, parahnya sekarang banyak orang yang menyamar menjadi Baduy dan menjual madu di pinggir jalan. Padahal madu mereka belum tentu asli. Baduy Dalam lebih suka menjual madu di rumah pada orang yang datang berkunjung. Tempatnya botol tanggung, bukan ukuran botol Marjan. Harganya 60 ribu sebotol, dijamin keasliannya.



Kita tidak akan menyangka ternyata populasi Baduy Dalam cukup besar. Menurut kang Safrii sekitar 15.000 orang terdiri dari beberapa kampung. Di sini namanya kampung Cibeo dengan jumlah penduduk 200 orang. Mereka semua memiliki kartu keluarga dan terdata resmi di kelurahan.

Suku Baduy Dalam tidak menganut poligami lho. Satu pasangan untuk seumur hidup. Tapi jika ada pasangan yang meninggal, boleh menikah lagi. Usia pernikahan paling rendah untuk laki-laki adalah 18 tahun dan perempuan 15 tahun. Adat pernikahan sederhana, tidak pakai pesta dan dandan yang mencolok, hanya makan-makan bersama selama tiga hari.

Hukum adat tetap berjalan ketat, tidak ada yang boleh dilanggar. Kalau ada yang hamil di luar nikah, bakal dikucilkan dalam sebuah rumah. Setelah melahirkan ia disuruh keluar dari Baduy Dalam. Begitu pula dengan pasangannya.

Baduy Dalam juga membolehkan jika ada yang mau menikah dengan orang luar. Tetapi resikonya dia tidak boleh lagi tinggal di Baduy Dalam. Kalau sekedar berkunjung menemui keluarga tidak dilarang, tapi tidak boleh menetap lagi.

Di perkampungan Baduy Dalam tidak ada pemakaman. Orang yang meninggal dikubur dan dikafani. Liang untuk anak sebatas dengkul, sedangkan dewasa sebatas pinggang. Kalau orang Islam dikubur menghadap kiblat , kalau mereka justru menghadap selatan. Di atasnya  tidak ada penanda nisan. Bahkan boleh ditanami setelah seminggu dikubur. Jadi kita tidak akan tahu ada yang dikubur atau tidak di bawah pepohonan.

Sebentar lagi suku Baduy Dalam memasuki bulan Kawalu. Ini ibarat lebaran bagi kita, tapi masanya lebih panjang sekitar tiga bulan. Ada musim panen dan berburu. Hasilnya nanti dikumpulkan bersama ketua adat. Dalam masa Kawalu ini, kawasan Baduy Dalam tertutup untuk umum, tidak boleh ada orang luar yang datang.

Satu hal lagi yang menarik, turis asing tidak boleh memasuki Baduy Dalam. Hal ini terkait dengan masa penjajahan Belanda. Dahulu penjajah Belanda pernah mau membasmi suku Baduy Dalam. Lalu ketua adat menciptakan mitos bahwa orang Baduy Dalam hanya 40 orang sehingga tidak dianggap berbahaya oleh penjajah. Mereka tidak jadi memerangi Baduy Dalam.

NB: foto-foto diambil di Baduy luar karena di Baduy Dalam terlarang untuk mengambil foto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar