Kamis, 14 September 2023

Heri Chandra Santoso, Semangat Literasi Untuk Masa Depan Negeri

 

Heri Chandra Santoso (dok.idn.times)

Tersebutlah seorang lelaki muda bernama Heri Chandra Santoso yang peduli pada pendidikan untuk tunas muda bangsa Indonesia. Dia menyadari, titik tolak pendidikan ada pada literasi. Namun lelaki muda itu juga tahu bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah.

Fakta memperlihatkan bahwa di sekitar tempat tinggal Heri,  banyak anak putus sekolah. Hal ini yang  mendorong Heri Chandra Santoso mendirikan pusat pelatihan anak, Pondok Baca Ajar di desa Meteseh, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Dengan cara ini, berharap anak-anak itu tak ketinggalan dengan anak-anak lain. 

Dengan pondok baca tersebut ,Heri ingin mengembangkan potensi anak-anak putus sekolah. Sejak berdiri tahun 2007, di pondok baca ini terdapat 30 anak binaan. 

"Mereka putus sekolah karena orang tua tidak mampu membiayai," cerita  Heri yang merupakan warga asli Dusun Slamet, Desa Meteseh.

Pondok baca Ajar menyelenggarakan beberapa kegiatan. Antara lain; membaca buku, pelatihan bahasa inggris, belajar komputer, belajar sejarah lokal, dan membaca puisi. Heri mendorong  anak-anak tersebut untuk mengikuti perkembangan teknologi, namun tetap tidak melupakan sejarah kebudayaan lokal.

Kiprah Heri memberdayakan remaja putus sekolah ini dimulai sejak masih aktif kuliah dan mengikuti berbagai kegiatan sosial. Heri adalah sarjana Sastra Indonesia alumni Fakultas Sastra Universitas Diponegoro tahun 2007. Ia yakin anak-anak putus sekolah juga memiliki potensi yang bisa dikembangkan.

Perpustakaan 

Kemudian setelah menjadi sarjana, Heri dan rekan- rekannya sepakat mendirikan sebuah perpustakaan sederhana. la pun meminta bantuan kepada para remaja karang taruna untuk mendukung program tersebut.

Awalnya, pondok baca Ajar  menempati ruang tamu milik orang tua Heri. Ketika itu, hanya ada 15 anak yang rutin datang. Heri mengumpulkan buku- buku dari sumbangan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan sumbangan pribadi hingga kini terkumpul 2.000 judul buku. Aneka jenis buku dari ilmu pengetahuan hingga cerita anak.

Supaya tidak bosan, kadang Heri mengajak anak-anak membaca di tengah kebun atau di tempat lain yang dirasakan nyaman. Mereka bergantian membaca, kalau ada sesuatu yang tidak dimengerti bisa ditanyakan langsung. Untuk bahasa asing, Heri melatih mereka untuk rajin membuka kamus. Mereka lalu membentuk klub baca. 

Kegiatan literasi ini selaras dengan komunitas yang didirikan Heri sejak 2008, yaitu Lereng Medini. Ini adalah nama kawasan pegunungan di Boja. Komunitas Lereng Medini untuk memberikan ruang bagi masyarakat, khususnya anak-anak dan pelajar dalam mengakses bacaan, belajar sastra serta budaya. 


Klub baca tersebut dinamai Anak-Anak Gregor Samsa. Di  sini ini anak-anak mulai berkenalan, bermain-main dengan buku-buku dan teks yang ada.Tak lupa ayah satu anak itu juga membawa KBBI, peta, dan ensiklopedia untuk menjelaskan kepada anak-anak tentang pengetahuan yang mereka temui di dalam buku. Sehingga, aktivitas membaca juga sebagai pintu masuk untuk berjumpa dengan khasanah lain melalui peta, kamus dan lain-lain.

Pemberdayaan ekonomi 

Namun kiprah Heri tidak berhenti di situ. Selain mengenalkan kegemaran membaca buku, maka  dua bulan sekali, Heri juga mengadakan seminar dan pelatihan penulisan cerita pendek dan pengolahan atau  daur ulang sampah dari bahan-bahan plastik  untuk dijadikan cenderamata atau souvenir.

Dengan keterampilan tersebut, mereka mampu membuat tas, topi, dan lain-lain. Berkat hasil kerajinan ini, dalam sebulan Heri bisa mengumpulkan omzet Rp 10 juta. Bahkan, di saat-saat tertentu, seperti akhir tahun, omzet bisa mencapai Rp 20 juta. Padahal pemasarannya masih di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sasaran yang ingin dicapai Heri adalah membentuk anak-anak muda yang mandiri. Jika mereka kuat menggerakkan perekonomian rakyat kecil, maka mereka menjadi generasi penerus yang tahan banting, mampu berinovasi dan eksis di masa depan. 

Meskipun begitu, Heri menghadapi tantangan dalam mewujudkan obsesinya tersebut. Misalnya, meyakinkan para orang tua anak-anak putus sekolah tersebut bahwa kegiatan yang ia jalankan tidak dipungut biaya alias gratis. Tadinya orang tua mereka tidak mengizinkan karena takut dipungut biaya. 

Memang sebagian besar orang tua murid-muridnya bekerja sebagai petani  gurem dan buruh dengan penghasilan yang pas-pasan. Karena itu mereka tidak memiliki biaya untuk pendidikan anak-anak.

Kendala lainnya adalah rendahnya budaya membaca di masyarakat pedesaan. Di sinilah Heri menekankan pentingnya membaca untuk membuka cakrawala.

Sayangnya, tidak adanya perhatian dari Pemerintah setempat. Bahkan, Kepala Desa Meteseh bukannya menentang adanya perpustakaan yang digagas Heri dan kawan-kawan. Mereka curiga pemuda itu memiliki motif- motif tertentu di balik kegiatan sosial yang dilakukannya.

Semua kendala itu tidak menyurutkan langkah Heri. Ternyata justru ada pihak-pihak yang mengulurkan bantuan. Salah satunya adalah Astra.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar