Sabtu, 26 November 2016

Siapa Penanggung-jawab Kasus Kecelakaan Kerja?



Dunia kerja, tidak melulu berada di dalam kantor yang aman dan nyaman. Ada pekerjaan yang mengharuskan karyawan berada di tempat-tempat yang berbahaya atau bahkan mengandung ancaman hilangnya nyawa. Pekerjaan-pekerjaan ini sering harus dihadapi sebagi resiko sebuah profesi. Misalnya pekerjaan dalam kontruksi bangunan.

Salah seorang teman baik saya, yang juga seorang blogger bernama Tamita Wibisono, mempunyai suami seorang karyawan yang bekerja pada kontraktor bangunan. Tepat sebulan yang lalu sang suami mendapat kecelakaan kerja yang menyebabkan pangkal kakinya menjalani operasi. Untuk sementara dia harus beristirahat hingga pulih  (walau tidak bisa 100%) untuk bisa berjalan. Beruntung perusahaan kontraktor tersebut memenuhi tanggung jawabnya, menanggung segala biaya pengobatan dan memberinya subsidi.

Namun, dari sekian banyak pekerjaan yang beresiko terjadinya kecelakaan kerja, siapa sesungguhnya yang paling bertanggung jawab? Banyk kasus dimana pekerja yang mengalami kasus kecelakaan kerja (K3) tidak mendapat perawatan sengan semestinya. Bahkan ditelantarkan dan diabaikan. Mereka tidak bisa bekera dan tidak pula mendapat tunjangan hidup.

Dua Penyebab Utama

Pada acara talk show Kementrian PUPR bersama Blogger ketika diselenggarakan Infrastructure Week 2016 di JCC beberapa waktu yang lalu, DR Ir Darba Daraba MSI, Direktur Bina Penyelenggaraan Jasa Kontruksi Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mengatakan ada dua penyebab utama K3.

Pertama, Perilaku yang tidak aman dan berbahaya bagi pekerja  (unsafe action).
Perilaku ini berkaitan dengan pekerja yang tidak melaksanakan prosedur kerja dengan baik.  Sebagai contoh, tukang las yang tidak mengenakan kacamata pelindung, percikan api dapat mengakibatkan kebutaan. Kemudian pekerjaan yang tidak sesuai dengan skill atau keahlian. Jika tidak mengerti tentang pekerjaannya, bisa salah tekan tombol dsb. Selain itu adalah kebiasaan bersenda gurau ketika sedang bekerja. Bila menajdi lengah, maka akan terjadi kecelakaan kerja.

Kedua, Kondisi tidak aman (unsafe condition).
Perilaku ini berkaitan dengan pekerja yang memakai alat pelindung diri (APD) yang tidak sesuai standar.  Contohnya, helm pekerja yang mudah pecah, tidak bisa menahan benturan keras.  Selain itu, tempat yang kurang layak atau tidak memenuhi standar keselamatan dan kesehatan pekerja. Misalnya suara yang bising dapat menyebakan telinga menjadi tuli.  Begitu pula dengan minimnya ventilasi ruangan sehingga menjadi pengap dan kekurangan udara segar/oksigen.

Saya jadi teringat pada salah seorang keponakan dari kakak pertama. Sebagai sarjana kimia, ia diterima bekerja di sebuah pabrik kimia di pulau Batam. Ternyata pabrik itu tidak menerapkan safety secara maksimal. Ruangan tidak steril sehingga sering terjadi kebocoran. Akibatnya, karyawan bisa menghirup udara beracun yang disebabkan zat kimia tersebut. Untunglah akhirnya keponakan saya memutuskan untuk keluar dari pabrik itu.

Darba menjelaskan, "Dari seluruh data kecelakaan kerja yang terjadi selama ini, sekitar 32% kecelakaan kerja dari perusahaan kontruksi."

Beberapa kasus kecelakaan kerja terjadi di wilayah ibukota. Misalnya, jatuhnya crane di Pacifik Place SCBD Jakarta, dan  runtuhnya Grogol Fly Over. Sedangkan contoh kecelakaan kerja di daerah adalah Pembangunan Rukan Samarinda, Kalimantan Timur dan jatuhnya Gider Jembatan Banyumulek 2 Lombok, NTB

7 Kebijakan SMK3

Hadir pula sebagai narasumber adalah Ir Lazuardi Nurdin, Ketua Umum Asosiasi Ahli K3 Kontruksi Indonesia. Ia memaparkan tentang 7 Kebijakan SMK3, yaitu Sistem Manajemen keselamatan dan Kesehatan Kerja dari Kemen PUPR.

1. Memastikan semua peraturan perundangan tentang keselamatan kerja (ditegakkan secara konsisten oleh semua pihak.
2. Memastikan K3 menjadi nilai utama pada setiap penyelenggaraan kegiatan.
3. Memastikan setiap orang bertanggungjawab  atas K3 masing-masing orang yang terkait dan orang yang berada di sekitarnya.
4. Memastikan semua potensi bahaya di setiap tahapan pekerjaan baik terkait dengan tempat, alat maupun proses kerja telah diidentifikasi, dianalisis dan dikendalikan secara efisien, dan efektif guna mencegah kecelakaan dan sakit akibat kerja.
5. Memastikan penerapan sistem manajemen K3 guna mengeliminasi, mengurangi dan menghindari resiko kecelakaan akibat kerja.
6. Memastikan peningkatan kapasitas K3 pada pejabat dan pegawai. sehingga berkompeten menerapkan SMK3 di lingkungan Kementrian PUPR.
7. Memastikan kebijakan K3 ini disosialisasikan dan diterapkan oleh para pejabat, pegawai dan mitra kerja kementrian PUPR.

Bagaimana dengan Swasta?

Menjadi suatu pertanyaan jika kecelakaan kerja terjadi pada perusahaan swasta, yang tidak terkait dengan BUMN atau pemeirntah. Untuk itu pemerintah menyiapkan peraturan mengenai SMK3  melalui Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2012.  Lalu PermenPu no.5 tahun 2014 mengenai RK3K (Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kontrak).

RK3K menjadi syarat perlengkapan penawaran tender setiap proyek kontruksi. Di sana harus dijabarkan secara detil mengenai identifikasi bahaya yang terjadi. Penilai resiko bagi pekerja dan pengendalian resiko saat terjadi kecelakaan.

Ada pula Pakta Komitmen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kontruksi Departemen Pekerjaan Umum 12 Februari 2009 sebagai pedoman untuk melaksanakan SMK3.  Kekurangannya adalah, belum tercukupinya tenaga untuk pengawas K3. saat ini baru ada 500 tenaga pengawas untuk 2000-3000 perusahaan. Jumlah ini sangat tidak memadai dan harus ditingkatkan segera.

Disiplin pekerja menjadi tantangan tersendiri. Masih banyak pekerja yang emmbandel dan tidak menuruti peraturan keselamatan kerja dengan berbagai alasan. Himbauan saja tidak cukup, harus ada cambuk yang keras agar mereka tidak mengabaikan K3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar